Sabtu, 10 Desember 2016

HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY



HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Hubungan antara negara dan civil society secara hipotesis teoritis, dikonstruksikan sebagai kekuatan penyeimbang terhadap yang disebut pertama. Oleh karena itu, civil society diharapkan mampu mengatasi negara sehingga ia tidak memiliki kekuasaan mutlak dengan memperjuangkan hak-hak asasi mereka yang meliputi hak kehidupan, kemerdekaan dan kepemilikan serta memiliki self-reliance (percaya diri), self supporting (swasembada), voluntary (sukarela), taat akan nilai dan norma yang berlaku, dan bebas dari ketergantungan terhadap negara. Karena itu, Tocqueville (2005), berdasarkan pengalamannya di Amerika, civil society memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan invensionis negara.
Keberadaan civil society tidak dapat dilepaskan dari demokrasi dan ruang publik. Usaha untuk merobohkan demokrasi hampir selalu berhubungan dengan usaha untuk meluluhlantakkan ruang lingkup masyarakat sipil. Selanjutnya, mustahil bila membicarakan demokrasi tanpa mengikutsertakan ruang publik. Pelanggaran dalam partisipasi menimbulkan kepincangan bentuk demokrasi. Oleh karenannya, menurut Chandhoke (2007), demokrasi memiliki hubungan dua sisi dengan ruang publik. Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik, namun secara bersamaan, tidak ada demokrasi apabila ruang publik tidak luas dan representatif.
Kejatuhan rezim Soekarno dan Suharto menggambarkan bagaimana kekuatan gerakan sosial yang dimiliki oleh civil society mampu mengontrol bahkan menjatuhkan suatu rezim penguasa di Indonesia. Gerakan sosial yang dilakukan oleh civil society untuk menumbangkan rezim Orde Lama ternyata belum mempu meletakan fondasi demokrasi dalam negara. Civil society yang sudah bersemi di masa awal, ternyata masa selanjutnya layu sebelum berkembang. Negara mampu mengkooptasi dan menghegemonik eksponen dalam civil society kedalam ruang kendali kekuasaannya. Pada masa orde baru berkembang berbagai asosiasi profesi, seperti ikatan Sosiologi Indonesia, dan organisasi yang dikenal dengan LSM pelat merah seperti karang taruna. Asosiasi dan organisasi tersebut bergantung pada bantuan finansial dan akomodasi dari negara, sehingga mereka bisa disetir sesuai dengan kepentingan pemerintah atau menyetir diri sesuai dengan keinginan penguasa.
Tidak berbeda gerakan sosial penumbangan rezim orde lama, gerakan sosial penumbangan rezim orde baru juga digerakan oleh civil society yang berasala dari berbagai asosiasi dan organisasi di masa eksponen mahasiswa sebagai motornya. Namun hasilnya relatif berbeda dimana terjadinya amandemen terhadap konstitusi sehingga demokrais dan partisipasi publik lebih terbuka dibandingkan dengan era sebelumnya. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung merupakan warna yang baru dalam sistem pemerintahan. Warna tersebut lebih demokratis dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Dari fenomena hubungan antara negara dan civil society yang terjadi di Indonesia tersebut di atas, ternyata hubungan tersebut juga dapat mengambil bentuk lain, yaitu hubungan yang koopratif dan hegemonik. Negara melalui kekuatan invensionisnya memiliki kemampuan menciptakan hubungan koopratif dan hegemonik terhadap civil society. Intervensi negara dipahami sebgaia hal yang lumrah ketika negra mempunyai hak semaunya untuk mendistribusikan sumber daya finansial dan akomodasi kepada asosiasi dan organisasi yang ada. Hak semaunya dipahami sebagai suatu kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa ada pertanggungjawaban publik dan pemnontrolan dari pihak lain. hak semaunya perlahan di hapus melalui perubahan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang diciptakan kemudian yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang bersih dan sehat.
Sumber: Damsar.2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Kencana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar