HUBUNGAN ANTARA NEGARA DAN CIVIL SOCIETY
Hubungan
antara negara dan civil society secara hipotesis teoritis, dikonstruksikan
sebagai kekuatan penyeimbang terhadap yang disebut pertama. Oleh karena itu,
civil society diharapkan mampu mengatasi negara sehingga ia tidak memiliki
kekuasaan mutlak dengan memperjuangkan hak-hak asasi mereka yang meliputi hak
kehidupan, kemerdekaan dan kepemilikan serta memiliki self-reliance (percaya
diri), self supporting (swasembada), voluntary (sukarela), taat akan nilai dan
norma yang berlaku, dan bebas dari ketergantungan terhadap negara. Karena itu,
Tocqueville (2005), berdasarkan pengalamannya di Amerika, civil society
memiliki kekuatan politis yang dapat mengekang atau mengontrol kekuatan
invensionis negara.
Keberadaan
civil society tidak dapat dilepaskan dari demokrasi dan ruang publik. Usaha
untuk merobohkan demokrasi hampir selalu berhubungan dengan usaha untuk
meluluhlantakkan ruang lingkup masyarakat sipil. Selanjutnya, mustahil bila
membicarakan demokrasi tanpa mengikutsertakan ruang publik. Pelanggaran dalam
partisipasi menimbulkan kepincangan bentuk demokrasi. Oleh karenannya, menurut
Chandhoke (2007), demokrasi memiliki hubungan dua sisi dengan ruang publik.
Tidak ada demokrasi tanpa ruang publik, namun secara bersamaan, tidak ada
demokrasi apabila ruang publik tidak luas dan representatif.
Kejatuhan
rezim Soekarno dan Suharto menggambarkan bagaimana kekuatan gerakan sosial yang
dimiliki oleh civil society mampu mengontrol bahkan menjatuhkan suatu rezim
penguasa di Indonesia. Gerakan sosial yang dilakukan oleh civil society untuk
menumbangkan rezim Orde Lama ternyata belum mempu meletakan fondasi demokrasi
dalam negara. Civil society yang sudah bersemi di masa awal, ternyata masa
selanjutnya layu sebelum berkembang. Negara mampu mengkooptasi dan
menghegemonik eksponen dalam civil society kedalam ruang kendali kekuasaannya.
Pada masa orde baru berkembang berbagai asosiasi profesi, seperti ikatan
Sosiologi Indonesia, dan organisasi yang dikenal dengan LSM pelat merah seperti
karang taruna. Asosiasi dan organisasi tersebut bergantung pada bantuan
finansial dan akomodasi dari negara, sehingga mereka bisa disetir sesuai dengan
kepentingan pemerintah atau menyetir diri sesuai dengan keinginan penguasa.
Tidak
berbeda gerakan sosial penumbangan rezim orde lama, gerakan sosial penumbangan
rezim orde baru juga digerakan oleh civil society yang berasala dari berbagai
asosiasi dan organisasi di masa eksponen mahasiswa sebagai motornya. Namun
hasilnya relatif berbeda dimana terjadinya amandemen terhadap konstitusi
sehingga demokrais dan partisipasi publik lebih terbuka dibandingkan dengan era
sebelumnya. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung merupakan
warna yang baru dalam sistem pemerintahan. Warna tersebut lebih demokratis
dibandingkan dengan masa sebelumnya.
Dari
fenomena hubungan antara negara dan civil society yang terjadi di Indonesia
tersebut di atas, ternyata hubungan tersebut juga dapat mengambil bentuk lain,
yaitu hubungan yang koopratif dan hegemonik. Negara melalui kekuatan
invensionisnya memiliki kemampuan menciptakan hubungan koopratif dan hegemonik
terhadap civil society. Intervensi negara dipahami sebgaia hal yang lumrah
ketika negra mempunyai hak semaunya untuk mendistribusikan sumber daya
finansial dan akomodasi kepada asosiasi dan organisasi yang ada. Hak semaunya
dipahami sebagai suatu kemampuan untuk membuat kebijakan tanpa ada
pertanggungjawaban publik dan pemnontrolan dari pihak lain. hak semaunya
perlahan di hapus melalui perubahan konstitusi dan aturan perundang-undangan
yang diciptakan kemudian yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara yang
bersih dan sehat.
Sumber:
Damsar.2010. Pengantar Sosiologi Politik.
Jakarta: Kencana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar