Problematika
Pendidikan dan Seksualitas
Mendiskusikan mengenai seks masih dipandang sebagai sesuatu yang
tabu bagi khalayak umum. Seks dianggap sebagai suatu hal yang tidak pantas
untuk diperbincangkan karena sebagian masyarakat masih berpandangan stereotype.
Seks sebenarnya bukan sesuatu yang jorok, kotor, tidak senonoh, dan cabul, seks
adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara
biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki
dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan,
sehingga sifatnya permanen dan universal.
Frued dan pengikutnya mengarahkan penelitian bahwa seks sudaha ada sejak
manusia dilahirkan, sejak masa bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Seks
dirasakan oleh bayi melalui belaian kasih sayang ibunya. Pada kanak-kanak
bentuk seks berubah menjadi rasa kagum pada dirinya sendiri yang disebut
sebagai fase Narcissism. Sesudah masa
tersebut, datanglah masa dimana anak sangat memperhatikan alam luar pertumbuhan
jasmaninya dan dinamakan sebagai masa tenang (Latency Priod). Selanjutnya pada permulaan masa remaja timbul
dorongan untuk bergaul antar sesama laki-laki atau perempuan. Kemudian sekitar
usia 16 atau 17 tahun, masing-masing jenis menaruh perhatian terhadap jenis lainnya.
Untuk saat ini, wacana mengenai seks bukan menjadi wacana yang
dibatas-batasi yang ruang lingkupnya pribadi saja, tetapi sudah menjadi wacana
publik. Seks menjadi wacana yang harus di diskusikan secara rasional.
Permasalahan seks juga berkaitan dengan permasalahan lainnya seperti
permasalahan demografi, ekonomi, kesehatan dan psikologi. Bukan hanya itu,
wacana seks bukan hanya harus dipahami pada wilayah orang dewasa saja,
anak-anak pun harus dikenalkan pada seks sejak dini melalui pendidikan seks yang
dimasukan kedalam kurikulum sekolah.
Anak-anak atau remaja mempelajari mengenai seks bukan hanya di sekolah
saja, tetapi pendidikan seks yang seharusnya dilakukan oleh keluarga mereka di
rumah, seperti ayah dan ibu. Foucault menyebutkan keluarga sebagai objek
pendidikan seks pada anak karena para orang tua harus mampu menjelaskan
berbagai hal mengenai seksualitas kepada anak. Para orang tua dengan
pemahamannya yang baik menjelaskan kepada anaknya mengenai “apa saja yang harus
dilakukan” dan “apa saja yang tidak boleh dilakukan” seta mana yang “baik” dan
mana yang “buruk”.
Setelah mendapatkan pendidikan seks yang baik dari orang tuanya di rumah,
anak-anak atau remaja kemudian mendapatkan pendidikan seks secara lebih komplek
di sekolah. Sekolah harus dapat membentengi siswanya dari informasi yang tidak
benar yang mungkin anak-anak dapatkan dari teman sebayanya maupun dari media
masa. Pendidikan seks di sekolah sifatnya adalah melengkapi pendidikan seks
yang sudah dilakukan di rumah.
Namun, pada kenyataannya sedidkit sekali para orang tua yang memberikan
pendidikan seks kepada anaknya. Lebih sedikit lagi para orang tua yang
menerapkan pendidikan seks di rumahnya sejak masih dini. Orang tua merasa kebingungan
mengenai apa yang harus mereka sampaikan dan lebih memilih menyerahkan
permasalah seks pada sekolah. Karena mereka beranggapan bahwa sekolah merupakan
tempat yang seharusnya melakukan tugas itu sehingga mereka tidak perlu lagi
melakukannya di rumah. Mereka juga merasa tidak perlu memberikan pendidikan
seks dasar karena di sekolah semuanya akan dipelajari mulai dari pendiidkan
seks dasar hingga yang lebih kompleks. Orang tua menganggap bahwa membicarakan
seks berarti membongkar hal rahasia hubungan suami-istri pada anak. Pendidikan
seks di rumah dirasa tidak perlu karena masih tabu, akan kaku dalam
menjelaskannya serta dirasa tidak pantas jika di diskusikan dengan anak-anak. Mereka
lebih memilih diam dan membiarkan anak mereka tahu mengenai masalah seks dari
teman-teman sebayanya sebagai lelucon yang jorok. Hal inilah yang justru
dikhawatirkan, karena informasi mengenai seks dari kawan sebayanya belum tentu
benar dan tepat diketahui sesuai dengan usia mereka.
Kesalahpahaman tersebutlah yang
menjadi problema terjadi saat ini antara orang tua dan sekolah. Para orang tua
mengganggap bahwa pendidikan seks akan sepenuhnya ditangani oleh sekolah.
Sementara pihak sekolah beranggapan bahwa pendidikan seks adalah tugas orang
tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak dan sekolah hanya tinggal
memberikan pendidikan seks tingkat lanjut.
Orang tua yang diharapkan dapat memberikan pendidikan seks pada anak secara
bijaksana dan penuh kasih sayang ternyata secara garis besar tidak
melakukannya. Pada akhirnya pemerintahpun ikut campur tanggan dalam menangani
masalah ini dengan memasukan pendidikan seks kedalam kurikulum pendidikan. Materi
pendidikan seksual tidak secara langsung disebut dalam kurikulum tersebut,
namun secara eksplisit masuk kedalam pendidikan kesehatan reproduksi. Dalam hal
ini, bahkan pemerintah harus turun tangan terhadap suatu hal yang sifatnya
privat. Pendidikan seksual yang awalnya hanya menjadi ranah pribadi, kini sudah
menjadi ranah umum bahkan ranah hukum. Karena keluarga tidak mampu menangani hal
tersebut, maka negaralah yang berkuasa atas hal tersebut.
sumber:
Martono, nanang.2014.Sosiologi Pendidikan Michel Foucault. Jakarta:Rajawali Pers.
Gunawan, Ary H. 2010. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar