Minggu, 02 Oktober 2016

Pendidikan Seks (Sex Education)



Problematika Pendidikan dan Seksualitas
Mendiskusikan mengenai seks masih dipandang sebagai sesuatu yang tabu bagi khalayak umum. Seks dianggap sebagai suatu hal yang tidak pantas untuk diperbincangkan karena sebagian masyarakat masih berpandangan stereotype. Seks sebenarnya bukan sesuatu yang jorok, kotor, tidak senonoh, dan cabul, seks adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal.
Frued dan pengikutnya mengarahkan penelitian bahwa seks sudaha ada sejak manusia dilahirkan, sejak masa bayi, kanak-kanak, remaja dan dewasa. Seks dirasakan oleh bayi melalui belaian kasih sayang ibunya. Pada kanak-kanak bentuk seks berubah menjadi rasa kagum pada dirinya sendiri yang disebut sebagai fase Narcissism. Sesudah masa tersebut, datanglah masa dimana anak sangat memperhatikan alam luar pertumbuhan jasmaninya dan dinamakan sebagai masa tenang (Latency Priod). Selanjutnya pada permulaan masa remaja timbul dorongan untuk bergaul antar sesama laki-laki atau perempuan. Kemudian sekitar usia 16 atau 17 tahun, masing-masing jenis menaruh perhatian terhadap jenis lainnya.
Untuk saat ini, wacana mengenai seks bukan menjadi wacana yang dibatas-batasi yang ruang lingkupnya pribadi saja, tetapi sudah menjadi wacana publik. Seks menjadi wacana yang harus di diskusikan secara rasional. Permasalahan seks juga berkaitan dengan permasalahan lainnya seperti permasalahan demografi, ekonomi, kesehatan dan psikologi. Bukan hanya itu, wacana seks bukan hanya harus dipahami pada wilayah orang dewasa saja, anak-anak pun harus dikenalkan pada seks sejak dini melalui pendidikan seks yang dimasukan kedalam kurikulum sekolah.
Anak-anak atau remaja mempelajari mengenai seks bukan hanya di sekolah saja, tetapi pendidikan seks yang seharusnya dilakukan oleh keluarga mereka di rumah, seperti ayah dan ibu. Foucault menyebutkan keluarga sebagai objek pendidikan seks pada anak karena para orang tua harus mampu menjelaskan berbagai hal mengenai seksualitas kepada anak. Para orang tua dengan pemahamannya yang baik menjelaskan kepada anaknya mengenai “apa saja yang harus dilakukan” dan “apa saja yang tidak boleh dilakukan” seta mana yang “baik” dan mana yang “buruk”.
Setelah mendapatkan pendidikan seks yang baik dari orang tuanya di rumah, anak-anak atau remaja kemudian mendapatkan pendidikan seks secara lebih komplek di sekolah. Sekolah harus dapat membentengi siswanya dari informasi yang tidak benar yang mungkin anak-anak dapatkan dari teman sebayanya maupun dari media masa. Pendidikan seks di sekolah sifatnya adalah melengkapi pendidikan seks yang sudah dilakukan di rumah.
Namun, pada kenyataannya sedidkit sekali para orang tua yang memberikan pendidikan seks kepada anaknya. Lebih sedikit lagi para orang tua yang menerapkan pendidikan seks di rumahnya sejak masih dini. Orang tua merasa kebingungan mengenai apa yang harus mereka sampaikan dan lebih memilih menyerahkan permasalah seks pada sekolah. Karena mereka beranggapan bahwa sekolah merupakan tempat yang seharusnya melakukan tugas itu sehingga mereka tidak perlu lagi melakukannya di rumah. Mereka juga merasa tidak perlu memberikan pendidikan seks dasar karena di sekolah semuanya akan dipelajari mulai dari pendiidkan seks dasar hingga yang lebih kompleks. Orang tua menganggap bahwa membicarakan seks berarti membongkar hal rahasia hubungan suami-istri pada anak. Pendidikan seks di rumah dirasa tidak perlu karena masih tabu, akan kaku dalam menjelaskannya serta dirasa tidak pantas jika di diskusikan dengan anak-anak. Mereka lebih memilih diam dan membiarkan anak mereka tahu mengenai masalah seks dari teman-teman sebayanya sebagai lelucon yang jorok. Hal inilah yang justru dikhawatirkan, karena informasi mengenai seks dari kawan sebayanya belum tentu benar dan tepat diketahui sesuai dengan usia mereka.
 Kesalahpahaman tersebutlah yang menjadi problema terjadi saat ini antara orang tua dan sekolah. Para orang tua mengganggap bahwa pendidikan seks akan sepenuhnya ditangani oleh sekolah. Sementara pihak sekolah beranggapan bahwa pendidikan seks adalah tugas orang tua sebagai orang yang paling dekat dengan anak dan sekolah hanya tinggal memberikan pendidikan seks tingkat lanjut.
Orang tua yang diharapkan dapat memberikan pendidikan seks pada anak secara bijaksana dan penuh kasih sayang ternyata secara garis besar tidak melakukannya. Pada akhirnya pemerintahpun ikut campur tanggan dalam menangani masalah ini dengan memasukan pendidikan seks kedalam kurikulum pendidikan. Materi pendidikan seksual tidak secara langsung disebut dalam kurikulum tersebut, namun secara eksplisit masuk kedalam pendidikan kesehatan reproduksi. Dalam hal ini, bahkan pemerintah harus turun tangan terhadap suatu hal yang sifatnya privat. Pendidikan seksual yang awalnya hanya menjadi ranah pribadi, kini sudah menjadi ranah umum bahkan ranah hukum. Karena keluarga tidak mampu menangani hal tersebut, maka negaralah yang berkuasa atas hal tersebut.
sumber:
Martono, nanang.2014.Sosiologi Pendidikan Michel Foucault. Jakarta:Rajawali Pers.
Gunawan, Ary H. 2010. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi Tentang Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar