Perempuan
Sebagai Korban Ketidakadilan Gender
Sebelum
mengetahui bagaimana permasalah gender yang menyebabkan perempuan sebagai
korbannya, terlebih dahulu kita mengetahui apa pengertian gender sebenarnya dan
perbedaan yang tegas antara gender dan seks atau jenis kelamin.
Gender
adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan
dibangun oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman.
Sementara sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang
secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan.
Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga
sifatnya permanen dan universal. Sex tidak bias berubah, permanen dan tidak
bias dipertukarkan karena bersifat mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal sifat, peran, fungsi, hak, perilaku
yang dibentuk oleh masyarakat. Karenanya gender bersifat relatif, dapat berubah,
dan dapat tukar. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat.
Pandangan
masyarakat mengenai perempuan adalah sosok yang lemah lembut, penuh kasih
sayang, cantik, keibuan, emosional, cerewet dan lemah. Sedangkan laki-laki itu
kuat, tegas, jantan, perkasa, kasar, keras kepala dan tidak peka terhadap
perasaan. Sementara harapan masyarakat menegenai perempuan yang baik adalah
bisa mengurus anak, tunduk dan patuh pada suami, diam dirumah, serta mempunyai
kodrat memasak, mencuci, dan mengurus anak. Padahal secara pengertian, kodrat
adalah sesuatu hal yang muncul dari Tuhan dan tidak bisa diubah misalnya
mengandung dan melahirkan. Perlu ditekankan bahwa memasak dan mengurus anak itu
bukan kodrat tetapi keterampilan. Sebaliknya, ketika seorang laki-laki bekerja
mengurusi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak dan mengasuh anak,
itu dianggap sebagai sesuatu yang aneh oleh masyarakat seakan laki-laki
dianggap lemah jika mengambil alih peran yang biasa dilakukan oleh perempuan
bahkan tidak dihargai di mata masyarakat. Sekali lagi, melakukan pekerjaan
rumah tangga bagi laki-laki bukanlah merupakan sesuatu yang melanggar kodrat.
Perbedaan gender muncul sebagai
masalah karena adanya perbedaan peran, hak, tanggung jawab, fungsi serta ruang
lingkup aktivitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat.
Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan
pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil
pembangunan laki-laki dan perempuan. Inilah yang memicu adanya ketidakadilan
gender.
Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan
struktur sosial yang di dalamnya baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban
dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan
pembenaran yang tertanam sepanjang kehidupan manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya
menimpa perempuan saja, melainkan dialami pula oleh laki-laki. Namun pada
kenyataannya ketidak-adilan gender dalam berbagai bidang kehidupan ini lebih
banyak dialami oleh perempuan. Bahkan perempuan menjadi korban atas
ketidakadilan gender seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan
atau pelecehan seksual dan perdagangan perempuan.
Dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan, bila terjadi
kekerasan dalam rumah tangga pastilah korban pertama dan yang paling banyak
menimpa adalah perempuan. Kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata
“kekerasan” yang merupakan terjemahan dari kata “violence” artinya suatu
serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pelaku
kekerasan yang bersumber pada gender bermacam-macam. Ada yang bersifat
individual seperti di rumah tangga maupun di tempat umum, ada juga yang berlangsung
di dalam masyarakat dan negara.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2014 menunjukkan jumlah kekerasan
terhadap perempuan sebanyak 293.330 kasus. Jumlah tersebut mengalami
peningkatan dibandingkan tahun 2013, yaitu sebanyak 279.688 kasus. Dengan
peningkatan jumlah kasus tersebut, menunjukan bahwa semakin banyak perempuan
yang menjadi korban. Perempuan menjadi pihak yang banyak dirugikan dalam kasus
KDRT.
Dari sekian banyak kasus kekerasan dalam rumah
tangga, mayoritas dari para perempuan yang menjadi korban mengatakan bahwa saat
terjadi kekerasan mereka hanya diam dan menerima perlakuan kekerasan tersebut. Tidak
sedikit wanita yang tidak berani mengambil sikap tegas untuk melaporkan
tindakan kekerasan yang dialaminya kepada polisi. Meskipun telah mengajukan
gugatan cerai ke pengadilan, namun dalam kebanyakan kasus mereka mencabut
gugatan itu. Hal ini disebabkan ketidaksiapan perempuan menghadapi situasi usai
perceraian, terutama secara ekonomi dan pandangan negatif masyarakat terhadap
status janda. Akibatnya, perempuan membuat pemakluman-pemakluman kembali atas
perlakuan kekerasan yang dilakukan laki-laki.
Perempuan dalam kehidupan rumah tangga dianggap
harus selalu patuh dan tunduk terhadap perintah suami, inilah yang menjadikan
hirearki pria menjadi lebih tinggi sehingga mendorong untuk berbuat seenaknya
pada perempuan. Hal tersebut sebagai akibat dari ketidakadilan gender yaitu
adanya pelabelan atau penandaan (stereotype) yang sering sekali bersifat negatif
secara umum selalu melahirkan ketidak-adilan. Pandangan terhadap perempuan
bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan
kerumahtanggaan atau tugas domestik adalah suatu ketidak-adilan gender.
Bukan hanya
dalam kasus KDRT saja yang menjadi contoh nyata ketidakadilan gender yang
mengakibatkan perempuan sebagai korbannya, kasus peleceha seksual bahkan kasus
pemerkosaanpun menjadi akibat jatuhnya korban ketidakadilan gender ini. Sampai
saat ini, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sulit untuk
diselesaikan secara hukum. Sebab, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, harus ada saksi mata dan bukti. Padahal, kasus kekerasan seksual
terjadi di ranah privat. Secara nalar dan logika, bila kasus kekerasan seksual
terjadi pada ranah prival, maka akan jarang sekali saksi yang melihat kejadian
tersebut. Hal ini sangat merugikan perempuan yang menjadi korban karena tidak
ada atau kurangnya bukti ketika ingin melaporkan kasusnya untuk mendapatkan
keadilan.
Data dari Komisi Nasional
Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada
2012, kasus kekerasan terhadap perempuan mencalai lebih dari 216 ribu kasus.
Setahun berikutnya, angka tersebut naik menjadi 279 ribu kasus lebih dan pada
2014, angkanya terus naik menjadi lebih dari 293 ribu kasus. Dalam satu
hari, ada 2 sampai 3 perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.
Perempuan
seringkali disalahkan dalam kasus pelecehan seksual maupun pemerkosaan. Perempuan
yang mamakai pakaian minim, perempuan yang keluar rumah tengah malam dan remaja
yang melintas di tempat sepi yang kemudian menjadi korban pelecehan seksual
selalu disalahkan. Hal itu dianggap mengundang terjadinya kasus pelecehan.
Betapa malangnya perempuan yang selalu disalahkan disaat dia sendiri menjadi
korban kekejaman orang lain. Padahal, dalam kasus ini tidak seutuhnya adalah
kesalahan para perempuan. Perempuan mempunyai hak untuk bebas mengekspresikan
diri dan tidak boleh menjadi objek dalam hal itu. Ketidakadilan gender, ketidaksetaraan gender,
cara pandang, pola pikir, perpsektif patriarkal itu memang masih menempatkan
perempuan itu paling mudah untuk dijadikan obyek kekerasan.
Dalam pemecahannya, bukanlah
aktivitas perempuan yang perlu dibatasi. Tetapi yang paling ideal adalah
mengubah cara pandang diatas. Karena dalam situasi apapun, orang tidak akan mudah
melakukan kekerasan karena memang cara pandangnya sudah berbeda.
Tidak hanya berhenti disitu,
perempuan menjadi korban pula dalam kasus perdagangan manusia (trafficking). Praktik
perdagangan perempuan dan anak di Indonesia cenderung meningkat dengan jumlah
diperkirakan antara 74.616 hingga 1 juta orang per tahunnya. Angka 74 ribu
lebih itu bagian dari kasus penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar
negeri yang dicatat konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia pada 2001.
Sementara sesuai data International Organization for Migration (IOM) mencatat
selama 2004-2005 mencapai 54.162 korban perdagangan orang dari 216 kasus yang ditangani
IOM, 79 persen adalah perempuan. Sedangkan data Bareskrim Mabes Polri pada 2004
mencatat dari sekitar 1,5 juta Tenaga Kerja Wanita (TKW), sekitar 20 persen di
antaranya adalah korban perdagangan orang (trafficking). Data Komnas Perempuan
tahun 2004 menyebutkan di antara 14.020 kasus perempuan yang mengalami
kekerasan sebanyak 526 kasus atau sekitar 4 persen adalah kasus trafficking .
Banyaknya praktek trafficking ini
disebabkan karena masalah ekonomi dan kurangnya pendidikan pada perempuan.
Karena dalam hal pendidikan, perempuan selalu menjadi nomor dua yang diutamakan
setelah laki-laki. Karena kurangnya pendidikan inilah, para kaum perempuan
teriming-imingi untuk bekerja di luar negeri dengan penghasilan yang besar.
Pada kenyataannya, mereka hanyalah dijadikan sebagai budak para kaum borjuis
dan buruh pabrik dengan bayaran murah.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan
dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi
wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja
laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi
menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan
lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan
buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam
solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital
bagikapitalis.
Disatu sisi
pemerintah membuat peraturan tentang pembatasan diskriminasi terhadap perempuan.
Namun di sisi yang lainnya, pemerintah terus melakukan pengiriman Tenaga Kerja
Wanita ke luar negeri yang justru menjadi pintu gerbang terjadinya pelanggaran
hak serta menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini perlu dibenahi
dan dievaluasi oleh seluruh yang terlibat bahwa tidak seharusnya perempuan yang
menjadi korban atas semua ketidakadiilan yang ada.
Ketidakadilan gender juga nampak
dalam berbagai bidang seperti bidang politik. Kesempatan perempuan untuk masuk
dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai faktor
hal itu jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotipe
bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang
memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan
pikiran-pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan sebagai milik laki-laki
bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan
adalah “penghuni” dapur atau domestik. Tidak bisa berpikir rasional dan
kurang berani mengambil resiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotipe
perempuan. Akibatnya baik perempuan maupun laki-laki dan masyarakat secara umum
sudah menarik kutub yang berbeda dunia publik milik laki-laki dan dunia
domestik milik perempuan.
Banyak hal yang terkait dengan
ekonomi yang meyebabkan perempuan tidak diakui perananya karena kiprahnya hanya
disekitar ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih sedikit pengakuan pada kaum
perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku ekonomi karena dianggap
itu hanya kerja main-main bukan kerja yang prestisuis, seperti halnya yang
dilakukan oleh laki-laki. Kiprah laki-laki didunia ekonomi diakui karena mereka
bisa masuk pada tingkatan penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan
strategis pada kantor-kantor yang terkait dengan perekonomian. Sementara
perempuan belum banyak yang menduduki tingkatan tersebut, akibatnya kegiatan
perempuan dibidang ekonomi yang terpusat pada sekitar keluarga dan dirinya
sendiri, meskipun menghasilkan bahkan menjadi penunjang hidup keluarga, tak
diakui dan hanya dianggap sebagai pekerja sambilan.
Banyak hal yang masih mencerminkan
ketimpangan di bidang ekonomi, misalnya upah perempuan lebih rendah daripada
laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar, karena perempuan dianggap
lajang bukan kepala keluarga.
Kerasnya dunia publik menunjukan
bahwa perempuan belum di akui sebagai pekerja profesional. Perempuan sebagai
obyek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam bidang publik,
padahal perempuan sudah mampu memainkan peran sebagai subyek dalam berabagai
proses ekonomi. Sektor publik nampak belum disiapkan untuk menerima kehadiaran
kaum perempuan dengan semestinya. Hal ini memaksa perempuan untuk selalu
berusaha menjadi laki-laki di dunia kerja. Dia harus bersaing ketat dengan
rekan sesama kerja yang tidak saja laki-laki tetapi juga perempuan. Dia harus
menunjukan kemampuannya yang tidak hanya bisa menjadi ibu dan istri tetapi juga
harus menunjukan bahwa dia juga bisa menjadi pekerja yang professional.
Ketika melamar pekerjaan seorang
perempuan tidak saja dipandang kualitas intelektualitasnya, melainkan juga
sosok dan status sebagai perempuan. Biaya ideologis yang harus dibayar adalah,
perempuan harus mampu memenuhi kriteria tersebut, tidak hanya berkualitas tapi
juga berusaha menampilakan diri habis-habisan agar sebagai pendatang dia bisa
diterima.
Dalam hal pendidikan normal,
perempuan diseluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan
jenisnya, kesertaan perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Jumlah
murid perempuan umumnya hanya separoh atau sepertiga dari jumlah murid
laki-laki. Demikian pula dalam jenjang pendidikan tinggi, kesertaan perempuan
sangat rendah dan umumnya terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora,
dan bidang pendidikan.
Begitulah
pandangan stereotyp perempuan di mata masyarakat yang sulit diubah dan sukdah
mengakar kedalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Bukan hanya masyarakat,
bahkan hukum pun “berlaku tidak adil” pada kaum perempuan. Permerintah yang
membuat sebuah lembaga untuk melingdungi kaum perempuan yang bertujuan untuk
mengurangi kejahatan pada perempuan, pada kenyataannya tidak berfungsi secara
efektif. Bahkan hal itu telah berhasil memandang perempuan sebagai kaum yang
lemah yang perlu di lindungi oleh sebuah lembaga bahkan oleh Undang-Undang. Sejatinya
para perempuan tidak memerlukan hal itu, perempuan hanya memerlukan kesamaan
derajat dan memperoleh keadilan dalam hidup.
Sangat besar harapan para perempuan
di dunia ini untuk bisa menjadi sama dengan laki-laki dan memiliki kedudukan
yang sama pula. Untuk itu, semua kalangan sangat berperan dalam mengubah
pandangan dan labelling pada perempuan yang sudah berabad-abad melekat dalam
jiwa masyarakat. Mungkin hal inilah yang dapat menyelesaikan semua kasus
ketidakadilan maupun ketimpangan gender yang selama ini sudah banyak merugikan
para perempuan.
Rosi Apriliani
(2290150030)
Pendidikan
Sosiologi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar