Senin, 10 Oktober 2016

Permasalahan Gender



Perempuan Sebagai Korban Ketidakadilan Gender
            Sebelum mengetahui bagaimana permasalah gender yang menyebabkan perempuan sebagai korbannya, terlebih dahulu kita mengetahui apa pengertian gender sebenarnya dan perbedaan yang tegas antara gender dan seks atau jenis kelamin.
            Gender adalah perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dibangun oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan jaman. Sementara sex adalah perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis, yang secara fisik melekat pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Perbedaan jenis kelamin merupakan kodrat atau ketentuan Tuhan, sehingga sifatnya permanen dan universal. Sex tidak bias berubah, permanen dan tidak bias dipertukarkan karena bersifat mutlak. Sedangkan gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal sifat, peran, fungsi, hak, perilaku yang dibentuk oleh masyarakat. Karenanya gender bersifat relatif, dapat berubah, dan dapat tukar. Perubahan ciri dan sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.
Pandangan masyarakat mengenai perempuan adalah sosok yang lemah lembut, penuh kasih sayang, cantik, keibuan, emosional, cerewet dan lemah. Sedangkan laki-laki itu kuat, tegas, jantan, perkasa, kasar, keras kepala dan tidak peka terhadap perasaan. Sementara harapan masyarakat menegenai perempuan yang baik adalah bisa mengurus anak, tunduk dan patuh pada suami, diam dirumah, serta mempunyai kodrat memasak, mencuci, dan mengurus anak. Padahal secara pengertian, kodrat adalah sesuatu hal yang muncul dari Tuhan dan tidak bisa diubah misalnya mengandung dan melahirkan. Perlu ditekankan bahwa memasak dan mengurus anak itu bukan kodrat tetapi keterampilan. Sebaliknya, ketika seorang laki-laki bekerja mengurusi pekerjaan rumah tangga seperti mencuci, memasak dan mengasuh anak, itu dianggap sebagai sesuatu yang aneh oleh masyarakat seakan laki-laki dianggap lemah jika mengambil alih peran yang biasa dilakukan oleh perempuan bahkan tidak dihargai di mata masyarakat. Sekali lagi, melakukan pekerjaan rumah tangga bagi laki-laki bukanlah merupakan sesuatu yang melanggar kodrat.
Perbedaan gender muncul sebagai masalah karena adanya perbedaan peran, hak, tanggung jawab, fungsi serta ruang lingkup aktivitas yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Perbedaan tersebut akhirnya membuat masyarakat cenderung diskriminatif dan pilih-pilih perlakuan akan akses, partisipasi, serta kontrol dalam hasil pembangunan laki-laki dan perempuan. Inilah yang memicu adanya ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender merupakan kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial yang di dalamnya baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang tertanam sepanjang kehidupan  manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja, melainkan dialami pula oleh laki-laki. Namun pada kenyataannya ketidak-adilan gender dalam berbagai bidang kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan. Bahkan perempuan menjadi korban atas ketidakadilan gender seperti adanya kekerasan dalam rumah tangga, pemerkosaan atau pelecehan seksual dan perdagangan perempuan.
Dalam sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan, bila terjadi kekerasan dalam rumah tangga pastilah korban pertama dan yang paling banyak menimpa adalah perempuan. Kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam berbagai bentuk. Kata “kekerasan” yang merupakan terjemahan dari kata “violence” artinya suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Pelaku kekerasan yang bersumber pada gender bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di rumah tangga maupun di tempat umum, ada juga yang berlangsung di dalam masyarakat dan negara.
Data Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2014 menunjukkan jumlah kekerasan terhadap perempuan sebanyak 293.330 kasus. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2013, yaitu sebanyak 279.688 kasus. Dengan peningkatan jumlah kasus tersebut, menunjukan bahwa semakin banyak perempuan yang menjadi korban. Perempuan menjadi pihak yang banyak dirugikan dalam kasus KDRT.
Dari sekian banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga, mayoritas dari para perempuan yang menjadi korban mengatakan bahwa saat terjadi kekerasan mereka hanya diam dan menerima perlakuan kekerasan tersebut. Tidak sedikit wanita yang tidak berani mengambil sikap tegas untuk melaporkan tindakan kekerasan yang dialaminya kepada polisi. Meskipun telah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan, namun dalam kebanyakan kasus mereka mencabut gugatan itu. Hal ini disebabkan ketidaksiapan perempuan menghadapi situasi usai perceraian, terutama secara ekonomi dan pandangan negatif masyarakat terhadap status janda. Akibatnya, perempuan membuat pemakluman-pemakluman kembali atas perlakuan kekerasan yang dilakukan laki-laki.
Perempuan dalam kehidupan rumah tangga dianggap harus selalu patuh dan tunduk terhadap perintah suami, inilah yang menjadikan hirearki pria menjadi lebih tinggi sehingga mendorong untuk berbuat seenaknya pada perempuan. Hal tersebut sebagai akibat dari ketidakadilan gender yaitu adanya pelabelan atau penandaan (stereotype) yang sering sekali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidak-adilan. Pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau tugas domestik adalah suatu ketidak-adilan gender.
Bukan hanya dalam kasus KDRT saja yang menjadi contoh nyata ketidakadilan gender yang mengakibatkan perempuan sebagai korbannya, kasus peleceha seksual bahkan kasus pemerkosaanpun menjadi akibat jatuhnya korban ketidakadilan gender ini. Sampai saat ini, kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia sulit untuk diselesaikan secara hukum. Sebab, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, harus ada saksi mata dan bukti. Padahal, kasus kekerasan seksual terjadi di ranah privat. Secara nalar dan logika, bila kasus kekerasan seksual terjadi pada ranah prival, maka akan jarang sekali saksi yang melihat kejadian tersebut. Hal ini sangat merugikan perempuan yang menjadi korban karena tidak ada atau kurangnya bukti ketika ingin melaporkan kasusnya untuk mendapatkan keadilan.
Data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa pada 2012, kasus kekerasan terhadap perempuan mencalai lebih dari 216 ribu kasus. Setahun berikutnya, angka tersebut naik menjadi 279 ribu kasus lebih dan pada 2014, angkanya terus naik menjadi lebih dari 293 ribu kasus. Dalam satu hari, ada 2 sampai 3 perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual.
Perempuan seringkali disalahkan dalam kasus pelecehan seksual maupun pemerkosaan. Perempuan yang mamakai pakaian minim, perempuan yang keluar rumah tengah malam dan remaja yang melintas di tempat sepi yang kemudian menjadi korban pelecehan seksual selalu disalahkan. Hal itu dianggap mengundang terjadinya kasus pelecehan. Betapa malangnya perempuan yang selalu disalahkan disaat dia sendiri menjadi korban kekejaman orang lain. Padahal, dalam kasus ini tidak seutuhnya adalah kesalahan para perempuan. Perempuan mempunyai hak untuk bebas mengekspresikan diri dan tidak boleh menjadi objek dalam hal itu.  Ketidakadilan gender, ketidaksetaraan gender, cara pandang, pola pikir, perpsektif patriarkal itu memang masih menempatkan perempuan itu paling mudah untuk dijadikan obyek kekerasan.
Dalam pemecahannya, bukanlah aktivitas perempuan yang perlu dibatasi. Tetapi yang paling ideal adalah mengubah cara pandang diatas. Karena dalam situasi apapun, orang tidak akan mudah melakukan kekerasan karena memang cara pandangnya sudah berbeda.
Tidak hanya berhenti disitu, perempuan menjadi korban pula dalam kasus perdagangan manusia (trafficking). Praktik perdagangan perempuan dan anak di Indonesia cenderung meningkat dengan jumlah diperkirakan antara 74.616 hingga 1 juta orang per tahunnya. Angka 74 ribu lebih itu bagian dari kasus penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri yang dicatat konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia pada 2001. Sementara sesuai data International Organization for Migration (IOM) mencatat selama 2004-2005 mencapai 54.162 korban perdagangan orang dari 216 kasus yang ditangani IOM, 79 persen adalah perempuan. Sedangkan data Bareskrim Mabes Polri pada 2004 mencatat dari sekitar 1,5 juta Tenaga Kerja Wanita (TKW), sekitar 20 persen di antaranya adalah korban perdagangan orang (trafficking). Data Komnas Perempuan tahun 2004 menyebutkan di antara 14.020 kasus perempuan yang mengalami kekerasan sebanyak 526 kasus atau sekitar 4 persen adalah kasus trafficking .
Banyaknya praktek trafficking ini disebabkan karena masalah ekonomi dan kurangnya pendidikan pada perempuan. Karena dalam hal pendidikan, perempuan selalu menjadi nomor dua yang diutamakan setelah laki-laki. Karena kurangnya pendidikan inilah, para kaum perempuan teriming-imingi untuk bekerja di luar negeri dengan penghasilan yang besar. Pada kenyataannya, mereka hanyalah dijadikan sebagai budak para kaum borjuis dan buruh pabrik dengan bayaran murah.
Menurut Marxisme, penindasan perempuan dalam dunia kapitalis karena mendatangkan keuntungan. Pertama, eksploitasi wanita dalam rumah tangga akan meningkatkan meningkatkan produksi kerja laki-laki di pabrik-pabrik. Kedua, perempuan yang terlibat peran produksi menjadi buruh murah, memungkinkan dapat menekan biaya produksi, sehingga perusahaan lebih diuntungkan. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh murah dan mengkondisikan buruh-buruh cadangan akan memperkuat posisi tawar pihak kapitalis, mengancam solidaritas kaum buruh. Ketiga, hal tersebut dapat mempercepat akumulasi kapital bagikapitalis.
Disatu sisi pemerintah membuat peraturan tentang pembatasan diskriminasi terhadap perempuan. Namun di sisi yang lainnya, pemerintah terus melakukan pengiriman Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri yang justru menjadi pintu gerbang terjadinya pelanggaran hak serta menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini perlu dibenahi dan dievaluasi oleh seluruh yang terlibat bahwa tidak seharusnya perempuan yang menjadi korban atas semua ketidakadiilan yang ada.
Ketidakadilan gender juga nampak dalam berbagai bidang seperti bidang politik. Kesempatan perempuan untuk masuk dalam bidang politik sebenarnya ada dan memungkinkan, namun karena berbagai faktor hal itu jarang sekali terjadi. Faktor utamanya adalah pandangan stereotipe bahwa dunia politik adalah dunia publik, dunia yang keras, dunia yang memerlukan akal, dunia yang penuh debat, dan dunia yang membutuhkan pikiran-pikiran cerdas, yang kesemuanya itu diasumsikan sebagai milik laki-laki bukan milik perempuan. Perempuan tidak pantas berpolitik karena perempuan adalah “penghuni” dapur  atau domestik. Tidak bisa berpikir rasional dan kurang berani mengambil resiko, yang kesemuanya itu sudah menjadi stereotipe perempuan. Akibatnya baik perempuan maupun laki-laki dan masyarakat secara umum sudah menarik kutub yang berbeda dunia publik milik laki-laki dan dunia domestik milik perempuan.
Banyak hal yang terkait dengan ekonomi yang meyebabkan perempuan tidak diakui perananya karena kiprahnya hanya disekitar ekonomi keluarga dan rumah tangga. Masih sedikit pengakuan pada kaum perempuan ketika mereka sukses dan berhasil menjadi pelaku ekonomi karena dianggap itu hanya kerja main-main bukan kerja yang prestisuis, seperti halnya yang dilakukan oleh laki-laki. Kiprah laki-laki didunia ekonomi diakui karena mereka bisa masuk pada tingkatan penentu kebijakan dan duduk pada jabatan-jabatan strategis pada kantor-kantor yang terkait dengan perekonomian. Sementara perempuan belum banyak yang menduduki tingkatan tersebut, akibatnya kegiatan perempuan dibidang ekonomi yang terpusat pada sekitar keluarga dan dirinya sendiri, meskipun menghasilkan bahkan menjadi penunjang hidup keluarga, tak diakui dan hanya dianggap sebagai pekerja sambilan.
Banyak hal yang masih mencerminkan ketimpangan di bidang ekonomi, misalnya upah perempuan lebih rendah daripada laki-laki untuk tanggung jawab yang sama besar, karena perempuan dianggap lajang bukan kepala keluarga.
Kerasnya dunia publik menunjukan bahwa perempuan belum di akui sebagai pekerja profesional. Perempuan sebagai obyek masih mendapatkan penekanan saat mereka terlibat dalam bidang publik, padahal perempuan sudah mampu memainkan peran sebagai subyek dalam berabagai proses  ekonomi. Sektor publik nampak belum disiapkan untuk menerima kehadiaran kaum perempuan dengan semestinya. Hal ini memaksa perempuan untuk selalu berusaha menjadi laki-laki di dunia kerja. Dia harus bersaing ketat dengan rekan sesama kerja yang tidak saja laki-laki tetapi juga perempuan. Dia harus menunjukan kemampuannya yang tidak hanya bisa menjadi ibu dan istri tetapi juga harus menunjukan bahwa dia juga bisa menjadi pekerja yang professional.
Ketika melamar pekerjaan seorang perempuan tidak saja dipandang kualitas intelektualitasnya, melainkan juga sosok dan status sebagai perempuan. Biaya ideologis yang harus dibayar adalah, perempuan harus mampu memenuhi kriteria tersebut, tidak hanya berkualitas tapi juga berusaha menampilakan diri habis-habisan agar sebagai pendatang dia bisa diterima.
Dalam hal pendidikan normal, perempuan diseluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya, kesertaan perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Jumlah murid perempuan umumnya hanya separoh atau sepertiga dari jumlah murid laki-laki. Demikian pula dalam jenjang pendidikan tinggi, kesertaan perempuan sangat rendah dan umumnya terbatas pada bidang-bidang ilmu sosial, humaniora, dan bidang pendidikan.
            Begitulah pandangan stereotyp perempuan di mata masyarakat yang sulit diubah dan sukdah mengakar kedalam setiap sendi kehidupan masyarakat. Bukan hanya masyarakat, bahkan hukum pun “berlaku tidak adil” pada kaum perempuan. Permerintah yang membuat sebuah lembaga untuk melingdungi kaum perempuan yang bertujuan untuk mengurangi kejahatan pada perempuan, pada kenyataannya tidak berfungsi secara efektif. Bahkan hal itu telah berhasil memandang perempuan sebagai kaum yang lemah yang perlu di lindungi oleh sebuah lembaga bahkan oleh Undang-Undang. Sejatinya para perempuan tidak memerlukan hal itu, perempuan hanya memerlukan kesamaan derajat dan memperoleh keadilan dalam hidup.
Sangat besar harapan para perempuan di dunia ini untuk bisa menjadi sama dengan laki-laki dan memiliki kedudukan yang sama pula. Untuk itu, semua kalangan sangat berperan dalam mengubah pandangan dan labelling pada perempuan yang sudah berabad-abad melekat dalam jiwa masyarakat. Mungkin hal inilah yang dapat menyelesaikan semua kasus ketidakadilan maupun ketimpangan gender yang selama ini sudah banyak merugikan para perempuan.
Rosi Apriliani
(2290150030)
Pendidikan Sosiologi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar