Filsafat India
India dipandang sebagai salah
tonggak peradaban tertua di dunia yang ditandai dengan ditemukannya situs di
sekitar lembah sungai Indus. Imigrasi besar-besaran yang dilakukan suku bangsa
Arya dari utara India, yang masuk ke lembah sungai Indus antara 1700-1400 SM
menandai suatu perubahan penting dalam sejarah filsafat India. Mereka
memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang termaktub dalam literatur suci yang
disebut Weda (sering kali juga ditulis “Veda”). Keberadaan literatur suci ini
membawa pengaruh luas dalam pemikiran dan sisitem kepercayaan bangsa India pada
masa itu, sekaligus menjadi titik awal sejarah filsafat India. Filsafat india
pada dasarnya dapat dikategorikan pada tahap besar, yaitu priode weda, priode
klasik, priode post-klasik, dan filsafat India baru (modern).
Babakan awal yang telah dimulai
pada zaman weda dilengkapi dengan nyanyian-nyanyian pemujaan yang ditujukan
pada eksistensi Dewa yang kemudian diwujudkan dalam kitab-kitan Upanished yang
merupakan repleksi Weda. Pada zaman Weda pulalah pemikiran filsafat Indian
dimulai dengan menjadikan alam semesta (makroskomos) sebagai objek utama
pembahasannya dalam konteks kosmologi. Manusia dipandang sebagai bagian kecil
dari korelasi makro dan mikroskomos dan selalu berada pada orbit yang sama.
Dalam hal ini, manusia tidak dapat berkonfortasi dengan alam, karena itu
manusia takluk dan wajib bersahabat dengan alam.
Pada tahapan priode klasik,
filsafat India berkembang dalam ranah kesatuan substansi rohani yang
digambarkan sebagai bagian terintegral dengan jiwa individual. Dalam masa ini
pula perlawanan-perlawanan terhadap pandangan kaum materialistis dan ateis
menjadi “warna” dominan dalam menyangkal atau bentuk perlawanan terhadap
otoritas weda.
Filsafat India sebagian besar
bersifat mistis dan intuitif. Peranan rasio baru agak menonjol pada kurun
terakhir perjalanannya, yakni setelah berkenalan dengan filsafat barat zaman
modern. Menurut radhakrishnan dan Moore, ada tujuh ciri umum yang mewarnai
hempir seluruh sistem filsafat india, yang pada pokoknya dinyatakan sebagai
berikut:
a. Ciri
pertama adalah motif spiritual yang mendasarinya. Motif ini mewarnai usaha
filsafat India dalam konteks hidup pada umumnya. Kecuali aliran materialisme
hedonistik seperti Carvaka, semua aliran yang lain mengakui adanya esensi
spiritual. Itulah sebabnya, penghayatan keagamaan dan agama terkait dengan
usaha fisiologi dan filsafat.
b. Ciri
kedua ialah filsafat India ditandai dengan sikap instrosfektif terhadap
realitas. Filsafat dipahami sebagai atmavidya, pengetahuan akan diri. Oleh
karena itu, perhatian lebih ditekankan pada subjektivitas dan objektivitas.
Karena itu pula, psikologi dan etika dianggap lebih penting daripada
pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan positif yang tetap menjadi bagian dari
kesibukan mereka juga.
c. Ciri
ketiga adalah adanya hubungan erat antara hidup dan filsafat. Tendensi ini kita
temukan dalam setiap filsafat India.
d. Tendensi
introspektif ini membuat filsafat India lebih bersifat idealis. Inilah ciri
umum keempat. Bukannya berarti tidak ada dualisme atau pluralisme, tetapi
kalaupun ada, dualisme atau pluralisme itu telah diresapi oleh ciri monistik
yang kuat.
e. Hanya
institusilah yang diakui sebagai mampu menyingap yang tertinggi. Inilah ciri
kelima. Ini tidak berarti bahwa pemikiran ditolak. Pemikiran, pengetahuan
intelektual dianggap tidak mencukupi. Oleh karena itu, kata yang tepat untuk
filsafat adalah darasana yang dari
kata dasarnya “drs” berarti melihat, suatu pengalaman intuitif langsung.
Pemikiran diakui mampu menunjukan kebenaran, tanpa ia sendiri mampu menemukan
dan mencapainya.
f.
Ciri keenam adalah penerimaan terhadap otoritas.
Kendati dalam tingkat tertentu sistem-sistem filsafat India berbeda-beda dalam
keterkaitannya denfan sruti, namun tidak satupun sistem-sistem yang ada kecuali
Carvaka yang secara terang-terangan mengabaikan insight intuitif yang diajarkan
oleh para guru upanishad, Budha, dan Mahavira. Barata mengartikan sruti sebagai
pengetahuan yang diturunkan sebagai tanda-tanda, simbol atau kata. Termasuk
didalamnya adalah asosiasi, perhatian, pengalaman dan nyaya, yang berarti
aspek-aspek arti yang ada pada benda-benda.
g. Ciri
terakhir adalah adanya tendensi untuk mendekati, berbagai aspek pengalaman dan
realitas dengan pendekatan sintetis. Ciri setua Rg weda (sering kali ditulis
reg weda) yang memahami bahwa agama yang benar akan mencakup semua agama,
sehingga “Tuhan itu satu, tetapi manusia menyebutnya dengan banyak nama”. Agama
dan filsafat, pengetahuan dan perbuatan, intuisi dan pemikiran, Tuhan dan
manusia, neumena dan fenomena, semua dipandang sebagai dan diletakan dalam
suatu harmoni justru karena adanya tendensi sintesis ini. Visi sintesis ini
yang menyebabkan semua sistem dapat hidup dalam toleransi.
Sumber: Aburaera, Sukarno dkk.
2013. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek.
Jakarta: Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar