Hukum Moral
Dalam konteks hukum positif,
aturan baik-buruk atau benar-salah dapat diukur dengan menempatkannya pada
ketentuan peraturan perundang-perundangan. Contohnya, seseorang yang kedapatan
mencuri. Dalam satuan hukum positif, mencuri itu dapat diganjar dengan aturan
perundang-undangan. Akan tetapi, mencuri dapat pula diganjar dengan hukuman
yang bersifat etis yang dalam ukuran moralitas perbuatan mencuri dianggap
sebagai suatu perbuatan yang salah dan buruk.
Jika argumentasi dasar seperti di
atas dan penjelasan pada subbab telah cukup jelas menggambarkan begaimana
hubungan hukum dan moral, pertanyaan kemudian yang muncul adalah mungkinkah
menciptakannya hukum moral yang dipandanga sebagai keseluruhan kaidah-kaidah
atau norma-norma yang mengatur masalah moral, sebagai salah satu atau cabang
ilmu hukum?
Untuk menjawab pertanyaan
tersebut bukanlah hal yang mudah, karena lingkup yang diatur dalam ranah moral
sangatlah abstrak. Jika yang menjadi cakupan hukum adalah baik dan buruk dan
kemudian diejawantahkan dalam bentuk aturan-aturan kemudian itulah yang
dianggap hukum moral, maka pertanyaan berikutnya, siapa subjek dan objek hukum
dan moral tersebut?
Jika kemudian yang dipandang
sebagai sumber hukum moral adalah manusia, masyarakat, dan/atau negara, sedangkan
objeknya adalah perilaku yang lahir dari kewajiban-kewajiban, maka bagaimana
hukum moral mendeskripsikan aturan-aturannya.
Menurut Kant, seseorang yang
bertindak demi hukum moral berarti ia bertindak berdasarkan kewajiban-kewajiban
sebagai pengejawantahan dari kehendak baik, dan karenanya tindakannya itu baik
secara moral. Untuk membedah lebih detail tentang pendapat Kant tentang hukum
moral, maka berikut akan diuraikan apa yang dimaksud Nietzsche ini akan melihat
bagaimana kewajiban yang melekat pada setiap individu baik tuan maupun budak
mengejawantahkan kehendak baiknya.
Moralitas tuan dalam gambaran
Nietzsche, yaitu ungkapan hormat dan pengahrgaan terhadap diri mereka sendiri.
Mereka sungguh yakin bahwa segala tindakannya adalah baik, meskipun secra morak
mereka tidak mengklaimnya sebagai moralitas universal. Sehingga ukuran baik dan
buruk bukan didasarkan pada tindakan atau perilaku dari si tuan, akan tetapi
pada pribadi yang melakukannya.
Sementara dalam moralitas budak,
Nietzsche menggambarkan bahwa para budak tidak pernah bertindak atas kemauan
mereka sendiri, selalu atas perintah sang tuan. Dalam pandangan mereka, ketika
bertindak atas kemauan sendiri, maka pada saat yang bersamaan telah terjadi
penyangkal secara kodrati sebagai seorang budak. Oleh karena itu, yang
dikatakan baik, bukan pada kemerdekannya dan kedaulatan, akan tetapi pada
simpati, kerendahan hati dalam hubungannya dengan status budak yang
disandangnya.
Gambaran moralitas tuan dan budak
yang digambarkan Nietzsche dalam hubungannya dengan apa yang dikemukakan oleh
Kant, maka yang dianggap baik secara moral oleh tuan dan budak adanya ketika
urusan moralitas disandarkan pada sastra yang melekat pada dirinya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa itulah aturan-aturan yang mereka pandang sebagai aturan
moralitas mereka. Atau dengan kata lain, dalam pandangan tuan dan budak, itulah
yang dianggap sebagai hukum moral.
Kehidupan moral dalam hal ini
kehendak baik dapat ditemukan dalam afirmasi dasar hukum moral. Tindakan
individual baik secara moral, bukan hanya karena kebetulan sesuai dengan hukum
moral, melainkan juga karena mengalir karena sumbernya, nilai moral dari objek.
Karena, tindakan moral itu diarahkan menuju objek dan menerima ciri etis dari
objek tersebut. manusia menjadi baik secara moral dengan menerima dunia
nilai-nilai seperti ditemukannya dan dikejarnya. Oleh karena itu, prinsip dasar
moralitas berupa pencarian dasar seluruh nilai objektif, tidak dapat ditemukan
dalam otonomi dan struktur rasional dari imperatif kategoris yang dikemukkan
oleh Kant.
Sumber: Aburaera, Sukarno dkk.
2013. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek.
Jakarta: Prenada Media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar